(Contoh Artikel)
![]() |
(Image Source: i0.wp.com) |
Dia tertabrak oleh mobil putih. Sialnya, mobil itu kabur tanpa rasa iba terhadap korban yang tertabrak olehnya berlumur darah karena terbentur trotoar. Menangis. Mengaduh-aduh kesakitan. Pingsan. Saat terbangun dari ketidaksadarannya, ia tak tahu ada di ruangan mana. Di tempat siapa. Pertanyaan yang membingungkan itu membuat kepalanya kian sakit. Lebih sakit lagi.
Ada lelaki yang masuk ke dalam ruangan seraya berkata, namun perempuan belia yang sempat terdampar di tepian jalan itu tak mendenger jelas, karena ia lebih terkonsentrasi pada sakit yang dideranya. “Kamu sudah sadarkan diri?”, tanya lelaki itu sembari berjalan menuju tempat pembaringan.
Perempuan itu tak menjawab. Hanya mengerenyitkan dahi. Menyunggingkan mulut. Tersiksa dengan sakit di bagian kaki kiri dan kepalanya. Rojak, nama lelaki itu, tergemap melihat kepala perempuan yang tadi dibaluti perban oleh seorang dokter klinik tetangga rumahnya kian bersimbah darah. Rojak yang sudah mendampal usia tiga dasawarsa itu bergegas. Tanpa a-i-u, dia segera menuju klinik dan meminta ingin pertolongan dokter. Berlari dari ruangan kecil yang ada di rumahnya. Menggebrak pintu klinik. Kebetulan saat itu adalah hari Minggu, dokter tidak sedang buka praktek. Ia mengencangkan suara, memanggil sang dokter sejadinya, “Dok, tolong, Dok! Dok! Toloooong, Dok!”.
Tak terhitung berapa banyak ia terus-menerus memanggil dokter dengan ditemani segumuk kelesah. Sementara itu, perempuan yang sendirian di ruangan di rumahnya tengah bergelimang air mata. Dengan lirih –perempuan korban tabrak lari yang sangat malang terus merapal doa, “Tuhan, cabut rasa nyeriku. Tuhan...”
Perempuan itu tak menjawab. Hanya mengerenyitkan dahi. Menyunggingkan mulut. Tersiksa dengan sakit di bagian kaki kiri dan kepalanya. Rojak, nama lelaki itu, tergemap melihat kepala perempuan yang tadi dibaluti perban oleh seorang dokter klinik tetangga rumahnya kian bersimbah darah. Rojak yang sudah mendampal usia tiga dasawarsa itu bergegas. Tanpa a-i-u, dia segera menuju klinik dan meminta ingin pertolongan dokter. Berlari dari ruangan kecil yang ada di rumahnya. Menggebrak pintu klinik. Kebetulan saat itu adalah hari Minggu, dokter tidak sedang buka praktek. Ia mengencangkan suara, memanggil sang dokter sejadinya, “Dok, tolong, Dok! Dok! Toloooong, Dok!”.
Tak terhitung berapa banyak ia terus-menerus memanggil dokter dengan ditemani segumuk kelesah. Sementara itu, perempuan yang sendirian di ruangan di rumahnya tengah bergelimang air mata. Dengan lirih –perempuan korban tabrak lari yang sangat malang terus merapal doa, “Tuhan, cabut rasa nyeriku. Tuhan...”
Dari depan pintu klinik, Rojak melihat mobil tiba dan parkir di garasi depan klinik. Tetapi yang datang bukan dokter yang sedang ia tunggu.
***
Sebelum tertabrak mobil, perempuan belia yang selalu berpenampilan sopan dan anggun itu sebetulnya sedang menjalankan tugas dari pekerjaannya. Mawar, nama perempuan yang sekarang tengah meringkuk kesakitan di rumah Rojak adalah seorang pembantu rumah tangga yang berwajah agung nan syahdu. Perempuan yang lahir di sebuah desa kecil di pojok Kabupaten Kuningan terpaksa harus rela mengebiri cita-citanya yang ingin mengedap bangku S2 di Australia. Dan S1 di kampus lokal nasional. Satu dari sekian daftar kampus yang ia bidik di Australia adalah Australian National University.
Nasib Mawar tidak segemilang temannya Arin, yang mendapat beasiswa untuk masuk di UGM Djogja. Dan Usi yang terbiayai oleh keluarganya berangkat ke ITB Bandung. Masing-masing dari mereka sekarang bisa menempuh S1 di kampus impiannya. Karena Mawar hanya anak tukang kebun dan kurang bersahabat dengan beasiswa, akhirnya ia lebih milih memangkir seutas harapan luhurnya.
Mawar tak ingin cita-citanya hanya akan menjadi relief yang kemudian dimuseumkan. Ia pergi ke tanah Jakarta. Bekerja. Menghasilkan uang. Membantu dan meringankan beban orang tuanya. Dan yang lebih penting; demi mengejar cita-cita penyambung riwayat pendidikannya itu. Saat di bus, Mawar menatap pemandangan yang tembus dari kaca. Acapkali ia bergumam, “Aku anak semata wayang. Aku perempuan. Akulah yang akan membanggakan ibu dan bapak.”
Mawar pergi meninggalkan kampung halaman. Tidak banyak bekal yang ia bawa. Hanya beberapa stel baju-celana, uang untuk satu kali ongkos berangkat, tiga buahseupan cau yang ibu bikin dari hasil bapak berkebun untuk mengganjal perut di tengah perjalanan, dan selembar kertas kecil bertuliskan alamat tempat ia bekerja nantinya. Alamat rumah itu kebetulan ia dapat dari tetangganya yang sudah berhenti bekerja karena sudah mulai kehabisan tenaga untuk meraup rupiah. Mawar sebagai penggantinya sudah memantapkan diri dan siap hidup di ibu kota dengan segala konsekuensi. “Akulah wonder women sejati,” ucapnya dalam bus sembari tertawa kecil. Menghibur diri.
***
Majikannya merasa heran. Ini adalah hari kedua Mawar belum pulang. Berulangkali ia menghubungi Mawar via telepon namun nomor selulernya selalu tidak aktif. Ia tidak tahu handphone butut milik Mawar sudah raib terlindas banyak kendaraan yang berlalulalang di jalan tempat Mawar tertabrak. Nyonya Darwi, majikan Mawar, adalah orang yang baik kepada siapa saja, termasuk kepada Mawar pembantunya. Saat ini ia merasa cemas karena Mawaar belum pulang juga. Sedikitpun Darwi tidak berperasangka Mawar yang sekarang menghilang ternyata kabur ke kampung halamannya, “tidak mungkin Mawar kabur,” gumamnya, “Mawar sering bilang kalau dia sangat betah kerja di sini. Gaji lumayan. Dan katanya, aku orangnya baik. Tidak pernah marah. Memperlakukan Mawar seperti anaknya sendiri.”
Sedangkan Mawar masih terkulai di pembaringan rumah Rojak. Pertolongan baru bisa didapat setelah Rojak melihat ternyata orang yang turun dari mobil itu, mobil yang parkir di garasi depan klinik adalah anak Dokter Wijaya. Anaknya sedikit-banyak mengerti tentang dunia kedokteran, karena selain ia sedang mengenyam pendidikan kedokteran di salah satu kampus di Jakarta, ia juga setia menemani ayahnya di klinik. Tak ada salahnya Rojak meminta bantuan padanya. Karena Dokter Wijaya entah sedang kemana. Rojak menghampiri Putra, anak Dokter Wijaya.
“Putra, tolong bantu saya mengobati seseorang yang sedang sakit. Dia mengalami luka di bagian kepala dan kaki kirinya. Ayo Putra, bantu saya! Kasihan, dia sedang kesakitan.”
“Baik, mas Rojak. Saya mau ngambil peralatan dulu.”
Mawar kembali tak sadarkan diri. Darah yang keluar dari kepala bagian belakangnya sangat banyak. “Ayo masuk.” Ujar Rojak. Namun ada yang aneh dari Putra. “Kamu kenapa Putra? Ayo obati perempuan ini.” Putra mengusap air yang keluar begitu saja dari kelopak matanya. Kemudian ia mengeluarkan peralatan kedokteran milik ayahnya yang biasa digunakan di klinik. Beberapa menit kemudian Putra berbicara kepada Rojak, “lukanya cukup parah. Bagaimana kalau perempuan ini kita bawa ke rumah sakit? Tenang saja, semua biaya rumah sakit saya taggung. Karena peralatan yang ada di sini tidak lengkap pula, mas,” Rojak mengiyakannya.
Putra tidak menyangka dengan semua yang terjadi. Dia merasa seperti mimpi di siang hari bolong. Di tengah perjalanan menuju ke rumah sakit, Putra terus melamun. Rojak yang mengemudi mobil semakin keheranan melihat Putra. Sesampainya di rumah sakit, Mawar yang belum dikenali oleh kedua lelaki itu masuk ke dalam ruangan IGD untuk pemeriksaan dan pengobatan awal. Rojak dan Putra ikut masuk ke dalam ruangan. Perawat yang menangani Mawar berbicara kepada dua lelaki itu, dan ucapannya seperti mengandung obat penenang.
“Kondisinya tidak terlalu parah, kami akan mengobatinya semaksimal mungkin. Namun pasien harus dirwat-inapkan, karena banyak sekali darah yang dikeluarkan akibat lukanya.”
“Baiklah. Saya akan mengurus administrasinya sekarang. Mas Rojak tunggu saja di sini ya.”
Mawar bangun dari ketidaksadarannya. Ia bertanya kepada Rojak ihwal sesuatu yang terjadi pada dirinya. Rojak dengan perlahan menceritakan kepada Mawar. Dari obrolan itu Rojak dapat mengetahui bahwa dia adalah Mawar seorang pembantu rumah tangga.
Satu bulan paska Mawar dirawat di rumah sakit...
Karena di rumah Rojak tidak ada yang bisa membantu merawat Mawar. Mawar dibawa pulang ke rumah Putra pada saat pulang dari rumah sakit. Di rumah Putra, Mawar bisa dibantu dan dirawat oleh pegawai Dokter Wijaya yang bertugas sebagai perawat sekaligus asisten pribadi. Akhirnya Mawar sudah kembali pulih dari deraan lukanya. Putra, selama satu bulan itu menanggung semua biaya hidup Mawar. Dan Putra yang mengantarkan Mawar pulang ke rumah Nyonya Darwi. Putra menjelaskan bahwa Mawar tertabrak mobil dan sekarang dia baru pulih dari sakitnya. Nyonya Darwi sumringah melihat kedatangan Mawar, walau ia sempat cemas dan tercengang saat mengetahui bahwa Mawar ternyata selama ini menghilang gara-gara tertabrak mobil.
Nyonya Darwi merasa kasihan melihat kondisi Mawar. Karena selalu terbayang dalam benaknya, betapa sakitnya luka yang diderita oleh Mawar sampai ia harus dirawat satu minggu di rumah sakit dan butuh waktu satu bulan untuk memulihkan kesehatannya. Akhirnya Mawar disuruh berhenti bekerja oleh Nyonya Darwi. Dan di suruh pulang ke kampung halaman agar kondisinya lebih membaik lagi. Kasihan jika dia harus bekerja terus. Dia tidak boleh terlalu lelah. Pesangon pun diterima oleh Mawar. Meski tak begitu besar jumlahnya, namun Mawar merasa senang karena ia mampu mebawa segepok uang untuk membantu merenovasi atap rumahnya yang mulai bocor-bocor kalau hujan.
Sempat Mawar menunda cita-citanya, bahkan ia menganggap mungkin semua cita-citanya memang hanyalah sebuah kenaifan. Kebiasaan Mawar di rumah, selain membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah, ia juga rutin merefleksi otak dengan menyiram bunga-bunga yang berjelajar di halaman mungil depan rumah. Baginya, suara percikan air yang menetes memandikan bunga-bunga di pagi dan sore hari adalah sebuah keajaiban yang memberikan ketenangan jiwa. Dan menatap bungan-bunga yang merekah adalah rumus pemecah luka.
Suatu saat, ketika Mawar menyiram bunga ada mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya. Mobil itu berwarna putih. Mengingatkan Mawar kepada kejadian tabrak-lari yang menimpa dirinya. Ia memperhatikan mobil mewah itu. Karena merasa tidak asing dengan mobil itu, lalu Mawar mendekatinya. Beberapa langkah sebelum Mawar sampai di dekat mobil, ia terkejut melihat seorang lelaki yang turun dari mobil itu ternyata Rojak. Dari pintu arah berlawanan ada lagi seseorang yang turun. Dan ternyata ia adalah Putra. Dua lelaki yang berhati mulia, menolong Mawar di kala kesulitan itu datang ke rumahnya. Dalam hatinya ia sedikit senang, namun bingung juga mau ada urusan apa mereka datang kemari.
Rojak dan Putra dipersilakan masuk, duduk di ruang tamu yang sempit tanpa kursi ataupun meja. Rumahnya sangat sederhana. Dua lelaki itu sempat tidak merasa percaya bahwa perempuan secantik Mawar lahir dari sebuah keluarga yang tak pernah tersentuh modernisme. Maksud kedatangan mereka adalah ingin meminta maaf, terutama Putra, karena Putra baru memiliki keberanian ini setelah satu tahun paska kejadian dahsyat yang menimpa perempuan kembang desa itu. Ibu dan Bapaknya menyambut ramah kedatangan mereka.
Tibalah saatnya Putra untuk menyiapkan diri jika nanti akan terkena amukan kedua orang tuanya. Putra mulai berbicara dengan nada yang sangat rendah penuh hormat.
“Bapak, Ibu dan juga Mawar. Sebetulnya kedatangan kami berdua adalah yang pertama ingin bersilaturahmi agar perkenalan kami dengan Mawar sewaktu di Jakarta tidak sia-sia. Dan yang kedua, saya secara pribadi, ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya karena baru sekarang memberitahu Mawar, Ibu dan Bapak soal kecelakaan yang menimpa Mawar saat itu. Sebetulnya, yang menabrak Mawar a-d-a-l-a-h ....saya,”
Semua orang yang ada di situ merasa terkejut, termasuk Rojak, karena selama ini Putra tidak pernah cecerita soalitu kepadanya. Apalagi Mawar. Ia tak menyangka bahwa lelaki yang ia anggap mulia karena kebaikan dan ketulusannya saat menolong Mawar kala itu termyata orang yang juga mencelakainya. Bapak dan Ibunda Mawar hanya tercengang dan diam. Kerendahan hati dan keluhuran etika seorang Bapak dari anak perempuan yang pernah nyaris merenggut nyawa tanpa awalnya ditolong oleh lelaki yang mengaku sebagai pelaku tabrak-lari itu.
“Ya sudah,nak Putra. Yang lalu biarlah berlalu. Mungkin ini memang jalan nasib anak saya yang harus mengalami hal semacam ini. Yang penting sekarang anak saya juga sudah sehat seperti sedia kala, dan tidak kurang suatu apa,”
“Terima kasih banyak, Pak. Tapi sebagai tanda terima kasih dan mohon maaf saya kepada Mawar dan Ibu serta Bapak, saya ingin mengajak anak bapak kuliahn di Australia. Semoga Bapak dan Ibu merestuinya, karena inilah cara satu-satunya yang saya miliki untuk memohon seribu maaf kepada semuanya atas kesalahan besarsaya.”
No comments:
Post a Comment